KETERBATASAN FISIK TAK MENGHALANGI MAS TRIONO MENJADI PENGUSAHA

Dua tahun mengibarkan CV Tri Agri Aurum Multifarm yang bergerak dalam bidang agribisnis, Triyono yang berasal dari Sukoharjo, Jawa Tengah tak melulu mengejar keuntungan. Omzet yang ia dapat memang terbilang tinggi, yakni mencapai Rp 3 miliar setahun, namun bagi Triyonno, idealisme adalah sebuah harga mati. Setahun CV Tri Agri Aurum Multifarm berdiri, Triyono langsung menggalakkan program CSR alias corporate sosial responbility yang ditujukan tidak hanya kepada para peternak pemula, tapi juga untuk mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan peternakan. Baginya, berbisnis bukanlah sekadar soal mencari untung besar, tapi juga kepekaan terhadap lingkungan. "Saya yakin setiap orang pasti punya sisi sosial dan punya cara masing-masing. Cara saya yaitu mengajar dan membantu beberapa kalangan yang hendak memulai bisnis beternak," tutur Triyono yang tiap tiga bulan sekali memberi workshop ke kampus dan peternakan tradisional sekitar Sukoharjo.
Meski harus berjalan dengan kedua kruknya melintasi daerah-daerah terpencil di seputaran Sukoharjo dan Purworejo, Triyono tak mendapat kesulitan berarti. "Saya selalu disambut dengan tangan terbuka dan keramahan khas masyarakat desa yang haus akan ilmu," katanya. Masyarakat betah duduk berjam-jam demi mendengar kuliah yang disampaikan Triyono. Setelah selesai, warga sering mengajaknya berdiskusi tentang kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. "Misalnya, soal harga sapi yang tak ada patokannya, soal pakan hingga persoalan seperti ternak yang mudah sakit," ujar dia. Agar mudah dipahami peserta, Triyono sering memberikan praktik langsung. Ambil contoh, cara mencampur pakan yang baik atau penggunaan ramuan tradisional yang dapat diberikan kepada ternak yang terjangkit penyakit. Ia merangkum seluruh materinya dalam laptop dan proyektor yang dibawanya langsung dari rumah. Pengusaha muda ini juga selalu menekankan kepada para peserta untuk tidak hanya membesarkan dan menjual ternak, tapi memanfaatkan limbah yang dihasilkan dari ternak tersebut. "Sekarang, mereka yang menjadi binaan saya tak hanya beternak tetapi juga menjual pupuk untuk menambah pemasukan mereka," kata Triyono. Triyono pun yakin, langkahnya ini merupakan sebuah amanah yang harus dijalankannya, sekalipun fisiknya tak sempurna. Menurut pria yang pada usia sembilan tahun baru bisa menapakkan kaki di tanah ini, ilmu tidak seharusnya disimpan sendiri, tapi harus dibagi. "Jika orang merasakan manfaat dari sesuatu yang kita bagi, maka kita akan terus terpacu untuk berbuat kebaikan. Apalagi, jika mereka bisa meraih sukses," tutur Triyono. t ini, Triyono memang telah merasa apa yang dilakukannya telah sesuai dengan harapan dan cita-citanya. Namun, bukan berarti ia tak memiliki cita lebih besar lagi. Dia bertekad menguasai pasar sapi potong di bawah bendera Tri Agri Aurum Multifarm. Bukan menjadi penguasa tunggal, tetapi ia berharap kemunculannya di pasar akan menyulut banyak peternak lokal lain untuk bergabung dalam pasar. Sehingga, peternakan bisa dikuasai oleh peternak Indonesia sendiri. Cara ini akan menguntungkan banyak pihak. Selain pasokan daging sapi dan ayam melimpah, pemeritah juga tak perlu repot mengimpor ternak dari luar. Tentu saja, cita-cita Triyono tersebut tak mustahil terwujud. Apalagi, peluang bisnis sapi potong di Sukoharjo, Jawa Tengah memang cukup potensial. Persediaan pakan yang melimpah, suasana, dan cuaca yang sejuk membuat sapi di Sukoharjo lebih sehat. Kota-kota di Jawa Barat, Jawa Timur, Yogyakarta, serta provinsi-provinsi di Pulau Sumatra dan Kalimantan menjadi tujuan pengiriman sapi-sapi asal Sukoharjo. Hanya saja, Triyono bilang, pengelolaan ternak sapi yang dikelola oleh para peternak di Sukoharjo perlu dibenahi dengan pembekalan pengetahuan ternak. Dengan begitu, pengelolaannya tidak lagi sebatas membesarkan ternak dan laku dijual saja. "Tapi juga soal pengemasan, kualitas, dan nama usaha yang sebelumnya tak pernah dipikirkan," imbuh Triyono yang menjamin para pekerja di peternakannya dengan asuransi kesehatan. Alhasil, Triyono menambahkan, usaha peternakan sapi akan menjadi usaha yang cukup menjanjikan. Tri, sapaan pria yang sejak berusia satu tahun divonis penyakit polio ini, bercerita bahwa ketika ia terjun di dunia agribisnis, dia tak banyak mendapat dukungan dari kerabat dan keluarganya sendiri. "Mereka saat itu selalu melihat ketidaksempurnaan fisik saya, mereka ragu akan kemampuan saya bekerja. Saat itulah saya merasa tidak berguna," kenang Tri. Lelaki berumur 29 tahun ini teguh memegang prinsip: sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain. Penolakan yang selalu disematkan kepadanya ketika mencari pekerjaan, menyadarkan Tri kalau ia harus membangun usaha sendiri untuk mengasapi dapurnya. "Sudah pasti, saya adalah orang pertama yang ditolak perusahaan ketika melamar sekalipun IPK saya bagus," tuturnya sambil tersenyum. Tri mulai merintis usaha agribisnis peternakan ketika masih berstatus sebagai mahasiswa jurusan Pertanian dan Peternakan Universitas Sebelas Maret, Solo tahun 2006. Dengan bermodal Rp 5 juta, ia memulai usaha bebek potong. Ia membeli 500 bebek untuk dia kembangbiakkan dan dibesarkan di lahan pekarangan rumah keluarganya. Ia benar-benar menerapkan ilmu peternakan yang dia peroleh di bangku kuliah. Hasilnya tokcer. Banyak pesanan mampir karena kualitas bebek peternakan Tri terbilang unggul. Bebek hasil ternaknya tak hanya sehat, tapi juga memiliki berat proposional. Ini yang membuat harga si kwek-kwek selalu bagus. Pelan tapi pasti, selama setahun, Tri mampu mengumpulkan modal dari usaha bebek potongnya. Tri memakai tambahan dana itu sebagai usaha jual beli sapi menjelang Idul Adha. Awal 2007, ia memberanikan diri memulai usaha jual beli hewan kurban. Ia mengenang, saat itu menjadi tahun terberat baginya. Selain harus mempersiapkan ujian skripsi, ia juga baru merintis agribisnis. Walhasil, saat pagi hingga siang hari, ia harus berkutat dengan kuliah. Setelah itu, Tri mencurahkan waktunya membeli dan menjual sapi untuk pasokan hari raya kurban. Seorang diri, ia memasok hewan-hewan tersebut ke beberapa daerah di sekitar Sukoharjo. Keluar masuk pasar setiap hari sudah menjadi kegiatan rutin. "Saya harus berjalan jauh dengan menggunakan kruk, mencari dan membeli sapi yang berkualitas kemudian mengantar sapi-sapi tersebut ke tempat pesanan," kenang Tri. Tapi, dia pantang menyerah, meski beberapa orang kerap menolak bekerjasama dengannya. Segala usahanya tak sia-sia. Tri lulus dengan indeks prestasi kumulatif 3,2, dan dia juga meraih untung dari hasil penjualan sapi kurban. Ia memutar kembali keuntungan itu sebagai modal membeli sapi dan ayam. Menyadari peluang usaha dari agribisnis cukup besar karena menyangkut kebutuhan primer banyak orang, bermodal Rp 20 juta, Tri pun mantap membangun usaha secara serius di tahun 2008. Dengan mengibarkan bendera CV Tri Agri Aurum Multifarm, Tri berbisnis peternakan terpadu sapi potong, ayam potong, dan pupuk organik. Meski tak memiliki latar belakang berbisnis, Tri mampu meraih pasar dengan cepat. Bekal kuliah menjadi nilai plus mengembangbiakan ternak. Alhasil, di 2008, dia mampu meraih omzet Rp 50 juta per bulan. Dia juga berhasil membuka lapangan kerja baru di desanya. eski tak keluar sebagai pemenang Wirausahawan Mandiri 2010, Triyono tak kecewa. Maklum, sejatinya, melalui ajang bertaraf nasional ini, ia ingin menunjukkan kepada semua orang, bahwa peternakan sangat layak menjadi pilihan anak muda dalam berusaha. Asalkan, dikelola dengan manajemen yang baik. Bagi Triyono, persoalan menang atau kalah bukanlah tujuannya mengikuti ajang Wirausahawan Mandiri 2010. Ada gol lain yang hendak dituju. Yakni, mengenalkan CV Tri Agri Aurum Multifarm ke seluruh Indonesia. Tak hanya itu, Triyono juga ingin menunjukkan ke semua orang bahwa agribisnis bukan hanya usaha yang cocok untuk orang tua, melainkan juga dapat dikelola oleh anak muda seperti dirinya. "Saya ingin usaha agribisnis yang dikelola anak muda menjadi tren," ungkap Triyono. Sejak mengembangkan usaha agribisnis dengan bendera Tri Agri tiga tahun lalu, omzet Triyono terus menanjak setiap tahun. Jika pada 2008, penghasilannya baru sebesar Rp 500 juta. Di 2010 lalu, pendapatannya melonjak enam kali lipat menjadi Rp 3 miliar. Berbekal ilmu peternakan yang ia pelajari saat bangku kuliah, Triyono memulai usaha agribisnisnya dengan menjual bebek potong hingga kemudian berternak ayam dan terakhir sapi. Kualitas ternak-ternak milik Triyono yang dibudidayakan di peternakan seluas satu hektare terbilang unggul ketimbang ternak milik pelaku usaha lain. Meski begitu, bukan berarti Triyono boros dalam membudidayakan semua hewan ternaknya, justru sebaliknya. Tapi, "Bukan berarti saya irit memberi makanan ternak, tapi saya memberi makanan ternak secukupnya," ujar pria 29 tahun ini. Hewan ternak yang diberi makan sesuai dengan asupannya dan tepat waktu, lebih sehat dibandingkan hewan ternak yang terus-terusan diberi makan. "Kami selalu memberi pakan tanpa campuran bahan kimia, hanya yang ada di lahan kamilah yang dimakan ternak, misalnya, rumput hijau," kata Triyono. Cara ini tentu saja dapat menekan biaya operasional. Triyono juga memanfaatkan aneka bumbu dapur, seperti kunyit, jahe, dan lengkuas untuk mengobati ternak-ternaknya yang sakit akibat faktor perubahan cuaca. "Kalau ternak tak nafsu makan, tinggal diberi daun pepaya yang telah ditumbuk halus," imbuh dia. Memanfaatkan pakan yang bersumber langsung dari alam tanpa campuran bahan kimia, Triyono mengatakan, juga akan menghasilkan sapi, ayam, dan bebek yang sehat dan bebas dari penyakit. Jadi, manajemen pakan, menurut Triyono, adalah 70% kunci dari keberhasilannya. Tapi, pola peternakan yang layak ditiru dari Triyono tak cuma sekadar soal memelihara, membesarkan, dan menjual hewan ternak. Tapi juga, mengenai pengolahan limbah ternak. Triyono, yang kerap memberikan penyuluhan kepada mahasiswa dari pelbagai perguruan tinggi, seperti Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan Universitas Sebelas Maret, Surakarta, memanfaatkan kotoran hewan ternaknya menjadi pupuk kompos, kemudian dijual ke pasar seharga Rp 350 per kilo. Dalam sebulan, Triyono dapat mengolah 15 ton kotoran ternak yang disulap menjadi pupuk. Pria yang sempat mengenyam pendidikan di sekolah luar biasa (SLB) selama setahun saat usia delapan tahun ini bilang, ide mengolah limbah peternakan muncul ketika ia melihat kotoran ternak yang makin menggunung di sekitar lahan peternakannya. Untuk menjadi pupuk, Triyono mencampur kotoran ternak dengan tanah dan serbuk jerami. Pengerjaannya secara manual. Setelah semua bahan tercampur secara merata, kemudian dibungkus dengan plastik dan siap dijual ke pasar. Meski usaha agribisnis seperti peternakan telah mengantarkan sebagian orang bergelimang harta, toh sektor ini belum menjadi pilihan di kalangan anak muda. Selain masih dinilai terlalu kolot dan hanya cocok untuk orang tua dan masyarakat pedesaan, agribisnis khususnya peternakan dianggap tidak bergengsi. Apalagi, Triyono mengatakan, memulai usaha di bidang agribisnis harus memiliki modal yang besar. Inilah yang membuat para peternak lebih terlihat sebagai pemasok yang hanya mengejar keuntungan semata. Padahal, menurut Triyono, kalau usaha ini dikelola dengan baik, niscaya berternak bisa setara dengan usaha-usaha bergengsi lainnya, seperti kuliner, industri kreatif, atau jasa. Sumber :Kontan.co.id

No comments:

Post a Comment